Rabu, 11 Oktober 2017

Apakah Nabi Seorang Pendebat ?

Pemahaman berdakwah dengan berdebat

Hadis menjadi salahsatu pedoman hidup ummat manusia selain Al-Qur’an. Qaul, fi’il dan taqriry Nabi Muhammad Saw merupakan sandaran umat manusia dalam mengatur segala aspek kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah dan yang berhubungan dengan manusia.
Banyak persoalan dalam hidup ini muncul tanpa bisa kita hindari, menemukan perbedaan dalam setiap kesempatan tentu sering kali kita temui. Penyelesaiannya pun beragam, tergantung masalah apa yang sedang kita hadapi. Berbicara tentang debat tentu sudah seringkali kita temui kata tersebut muncul diberbagai tempat dan keadaan bahkan terkadang dijadikan sebuah acara di salahsatu televisi nasional.
Bertolak dari titik tersebut, diantara hadis Nabi Muhammad Saw yang membahas tentang perdebatan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni dalam Sunannya, dengan redaksi hadis sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، ح وَحَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ» ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58]. [1]
Hadis ini menjelaskan bahwa tidaklah suatu kaum sesat setelah datang petunjuk yang mereka di atasnya melainkan setelah mereka melakukan perdebatan/perbantahan, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.
Jika ditelusuri lebih dalam mengenai isi dari hadis tersebut, agaknya berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat ini. Dimana dapat kita temukan bahwa ada salahsatu pendakwah terkemuka yang berasal dari Mumbai, India.  Ia adalah Dr. Zakir Abdul Karim Naik atau biasa dikenal dengan sebutan Dr. Zakir Naik. Didalam dakwahnya tersebut beliau lebih banyak mengadakan ceramah dan debat mengenai agama di berbagai negara di dunia. Dan baru-baru ini tersiar kabar beliau berkunjung ke Indonesia pada 31 Maret hingga 9 April 2017. [2]
Kata Debat sendiri memiliki berbagai makna, yang diantaranya; Debat merupakan kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan.[3] Sedang dalam KBBI, Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.[4] Kachwara dalam “Huang Nissan” yang dikutip dalam Islami.co membuat skema perbedaan antara Diskusi, Debat dan Dialog yang sengaja ditunjukan untuk Program on Intergroup Relation University of Michigan, 2007.  Menurutnya, In Discussion we try to mencari jawaban dan solusi,  In Debate we try to meraih kemenangan dan mencari kelemahan, In Dialogue we try to mencari kesepahaman dan memperluas perspektif yang kita miliki.[5] Maka menurut hemat penulis dapat disimpulkan bahwa debat merupakan suatu kegiatan adu argumentasi untuk saling mempertahankan pendapat.
Pengertian dari jadal adalah perdebatan atau bertukar pikiran dengan niat untuk mengalahkan lawan dengan menunjukkan kesalahan ucapan atau argumentasinya dan menisbatkan ketidaktahuan kepadanya. Dalam Al-quran sendiri kata jadal disebutkan sebanyak 29 kali dengan berbagai derivasinya, diantaranya jaadilu, jaadaltum, jaadaltuna, jaadiluka, yujaadiluna, yujaadilu, tujadiluka, yujaadilunaka, yujaadilukum, jidaalan, dan wajadilhum. [6]
Secara umum, semua derivasi kata jadal yang terdapat di dalam Alquran mengandung kesan negatif yang mengarah pada perselisihan, perpecahan, dan menghilangkan kebenaran. Jadi, kalau kita menyelidiki Alquran dan hadis-hadis Nabi saw, maka kita dapat menyaksikan penilaian yang berbeda terhadap perdebatan. Adakalanya, Alquran dan hadis menilai positif perdebatan, tetapi juga banyak menilainya secara negatif. Adakalanya, Alquran dan hadis membolehkan perdebatan, tetapi tak jarang melarangnya. seperti ayat ini misalnya,
ٱلَّذِينَ يُجَٰدِلُونَ فِيٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ سُلۡطَٰنٍ أَتَىٰهُمۡۖ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ كَذَٰلِكَ يَطۡبَعُ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلۡبِ مُتَكَبِّرٖ جَبَّارٖ ٣٥
Artinya: (Yaitu) orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S. Ghafir : 35).
Perdebatan selalu dibarengi dengan menyakiti orang lain, membangkitkan amarahnya, dan memaksanya untuk membela pendapatnya, baik dengan cara benar maupun salah. Maka, dua orang yang berdebat berusaha untuk menjatuhkan lawannya dan menunjukkan kebodohannya. Karena itu obat untuk penyakit “berdebat” ini adalah dengan memusnahkan penyebabnya yakni membuang kesombongan yang mendorong manusia untuk menampakkan kelebihannya. Misalnya saja, ketika menemukan ada seseorang yang mempunyai pengetahun yang cukup, tetapi kadang justru dengan pengetahuannya itu, dia jadi gemar berdebat dengan orang lain, untuk menunjukkan kepandaiannya.
Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka kebenaran itu akan mudah diterima, tidak perlu dengan debat yang keras. Karena kebenaran itu begitu jelas dan terang benderang. Intinya dalam debat itu hanya ingin mencari-cari pembenaran untuk mendukung pendapatnya saja, bukan sejatinya mencari kebenaran.  Seperti yang dikutip dalam artikel Islami.co; sebab sungguh banyak (dominan) persoalan “kelemahan agama lain” yang menjadi materi ceramah Dr. Zakir Naik. Sebetulnya, persoalan kelemahan dalam Kristiani memang tidak sepenuhnya menjadi faktor pendorong kuat atau lemahnya iman seorang muslim. Naïf, bila memperkuat iman kita sendiri dengan menjatuhkan klaim keliru pada agama lain.[7]
Fenomena tersebut membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai perdebatan dalam Islam dengan hadis-hadis Rasulullah Saw yang termaktub yang telah menjadi pedoman ummat manusia setelah Al-Qur’an.
Sebagai langkah awal, penulis berupaya mencari makna lafadz maupun redaksi hadis melalui sarana kamus dan kitab-kitab Syarah. Setelah itu penulis berupaya mencari riwayat hadis lain yang serupa, merujuk pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang selaras dengan pembahasan tersebut. Dan sebagai langkah akhir, penulis berusaha mengkontekstualisasikan hadis tersebut dengan realita kehidupan masyarakat dengan berpacu pada teks dan makna asli hadis tersebut.














PEMBAHASAN
A.    Teks Hadis
Seperti yang telah disebutkan diatas, dalam pembahasan kali ini penulis akan mengambil sebuah hadis riwayat Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni yang akan menjadi pokok pembahasan dalam kajian matan yang berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، ح وَحَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ» ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58].[8]
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Mundzir berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, Dan menurut jalur lain; Telah menceritakan kepada kami Hautsarah bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Dinar dari Abu Ghalib dari Abu Umamah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tidak akan tersesat suatu kaum setelah petunjuk selama mereka masih tetap di atasnya, kecuali orang-orang yang senang berdebat." Kemudian beliau membaca ayat ini: "tetapi mereka itu adalah kaum yang senang berdebat."
Hadis inilah yang akan dibahas dan dikaji oleh penulis, guna menyingkap makna tersirat dan tersurat didalamnya.                                                                                          

B.     I’tibar
1.      Tawabi’
Hadis riwayat Ibnu majah ini mempunyai riwayat dari jalur lain, baik yang sama lafadz dan maknanya maupun dengan lafadz lain yang masih dalam satu tema.
Beberapa periwayatan yang memiliki jalur rawi (sahabat) yang sama atau dikenal dengan tawabi’  antara lain:
-          Riwayat Tirmidzi dari sahabat Abu Umamah sebagai berikut:
، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الجَدَلَ، ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الآيَةَ: {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}.[9]
-          Riwayat Ahmad ibn Hanbal dari sahabat Abu Umamah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58] "[10]
-          Riwayat Abu Qoshim dari sahabat Abu Umamah
عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58] "[11]

2.      syawahid
Hadis ini memiliki syawahid yaitu hadis lain yang diriwayatkan dimana kandungan maknanya sama dengan hadis lainnya, diantaranya adalah:
-        Riwayat Bukhori dari sahabat Aisyah RA, mempunyai kandungan makna yang sama, sebagai berikut:  
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ»
Ibnu Hajar mengatakan:
Debat 01
“Mungkin yang dimaksud dengan (الأَلَدُّ الْخَصِمُ) adalah (الشَدِيْدُ الخُّصُوْمَةُ), karena (الْخَصِمُ) merupakan bentuk muballaghoh sehingga menghasilkan makna sangat keras dan makna banyak/sering”[12].Sehingga maknanya adalah orang yang paking dibenci di sisi Allah adalah orang yang sangat keras ketika berdebat dan sangat sering berdebat.
أخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْهَاشِمِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ بَشَّارٍ الْأَنْبَارِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ , قَالَ: حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ , قَالَ: أَخْبَرَنَا الْأَصْمَعِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا الْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ , قَالَ: «مَا كَانَ جَدَلٌ إِلَّا أَتَى بَعْدَهُ جَدَلٌ يُبْطِلُهُ» (شرح اصول إعتقاد اهل السنة والجماعة)

C.     Ayat-ayat Alqur’an
Adapun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema pembahasan hadis diatas antara lain: 
1.      Surah Az-Zukhruf ayat 58:
وَقَالُوٓاْ ءَأَٰلِهَتُنَا خَيۡرٌ أَمۡ هُوَۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلَۢاۚ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُونَ ٥٨
Dan mereka berkata: "Manakah yang lebih baik Tuhan-Tuhan kami atau dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. (Az-Zukhruf: 58)
Imam Abu Ja’far At-Thabari menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, bahwa mereka berdebat Tuhan, dan mereka yang menyembah Isa tersebut hanyalah untuk mendebat Nabi Muhammad saja.[13]
2.      Surat Al-‘Ankabut : 46
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمۡ وَٰحِدٞ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٤٦
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" (QS. Al-‘Ankabut : 46)
Imam Abu Ja’far At-Thabari menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, bahwa wahai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya janganlah mendebat ahlul kitab kecuali dengan perkataan yang baik, kecuali mereka yang menolak membayar jizyah, maka debatlah mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah.[14]
D.    Makna Kata
معنى ضل في قاموس المعجم الوسيط
خفي: hilang, lenyap
ضلّ : ضلاّ، ضلالا، ضلالة
غاب: menghilang, lenyap
ضلّ
ضاع، تلف، هلك، بطل، ذهب: hilang, lenyap, binasa
ضلّ : ضلّ الشئ فى الشئ
معنى الجدل في قاموس المعجم الوسيط
طريقة فى المناقشة والإستدلال صورها الفلاسفة بصور مختلفة ، وهو عند مناطقة المسلمين
الجدَل
العضو
الجدْل
العظم الموفّر
الجدْل
الخصم: bantahan, tandingan, saingan
الجدْل
Tabel makna kata ضلّ جدل [15]
E.     Makna Hadis
Pada dasarnya, ulama-ulama terdahulu telah memberikan makna pada hadis-hadis Nabi  Saw. Termasuk juga hadis ini, mereka memberi makna yang sesuai dengan zamannya dengan pemahaman yang didapat dari guru-guru dan para pendahulunya secara turun temurun, sehingga tidak banyak perbedaan dalam memahami dan menterjemahkan kandungan daripada hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
Kemudian makna dari hadis tersebut adalah:
“Tidaklah suatu kaum itu tersesat setelah mendapat hidayah kecuali ia mendatangkan bantahan/tandingan/saingan”.
Al Imam Adz Dzahabi Rohimahullah menempatkan perdebatan, pertengkaran sebagai dosa besar yang ke-65 dalam Kitab Al Kabair. Beliau Rohimahullah mengatakan,
الكبيرة الخمسة و الستون : الجدل و المراء و اللدد ووكلاء القضاة
“Dosa besar ke- 65 : perdebatan, pertengakaran dan perwakilan hakim”. [16]
F.      Kontekstualisasi Hadis
Berdasarkan penjelasan diatas, sebagai kontekstualisasi makna hadis, penulis ingin menjelaskan hadis terkait dengan fenomena Dr. Zakir Naik mengenai dakwah dengan berdebat, apakah termasuk dalam sesuatu yang justru menyesatkan atau bukan, karena itu penulis mengambil beberapa ibarah yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin beliau mengatakan bahwa; Perdebatan itu ada dua jenis, yaitu:
1.      perdebatan untuk mencela yaitu untuk merendahkan orang-orang bodoh dan mencela ulama. Sebenarnya yang diinginkan dari perdebatan ini adalah membela pendapat pribadinya. Maka jenis ini tercela.
2.      Perdebatan untuk mendapatkan kebenaran walaupun orang yang berdebat telah berada di atas kebenaran tersebut. Jenis ini tepuji dan diperintahkan. Tanda jenis yang kedua ini adalah jika kebenaran telah jelas bagi orang yang berdebat maka hatinya akan tenang dan mengumumkan bahwasanya dia telah meralat kesalahannya sebelum perdebatan tersebut.
Sedangkan tanda perdebatan jenis yang pertama adalah yaitu keinginan sebenarnya adalah untuk membela pendapat pribadinya. Jika kebenaran telah jelas (dan hal itu berseberangan dengan pendapat pribadinya) maka dia tidak akan menerimanya dan terus menerus ‘ngeles’ hingga tidak akan anda dapati ujungnya. Orang yang demikian ini berada dalam sebuah bahaya yaitu dia tidak akan menerima kebenaran dari perdebatan dan yang lebih parah lagi dia juga tidak akan menerima kebenaran ketika dia sedang sendiri karena syaithon akan membisikkan sesuatu kepadanya sehingga dia ragu dengan kebenaran tersebut”[17]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin juga mengatakan:
Debat 02
“(Diantara faidah dari Surat Al Baqoroh ayat 204 adalah Isyarat yang menunjukkan tercelanya perdebatan dan perbantahan. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُۥ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيُشۡهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلۡبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ ٢٠٤
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” QS. Al Baqoroh [2] : 204)
Karena perdebatan pada umumnya tidak terdapat padanya keberkahan. seseorang yang berdebat dan berbantah-bantahan dalam rangka merendahkan kebenaran. Tidaklah seseoang yang melakukan perdebatan melainkan Allah cegah dia dari keberkahan. Karena pada umumnya orang yang melakukan perdebatan yang diinginkannya sebenarnya adalah membela pendapatnya. Oleh karena itulah Allah cegah dia dari keberkahan”[18]
Debat 03
“Adapun orang yang menginginkan kebenaran maka sesungguhnya kebenaran adalah suatu hal yang mudah, simple, tidak butuh terhadap perdebatan yang panjang karena sudah jelas. Oleh karena itulah kalian akan mendapati ahlul bid’ah yang mana mereka adalah orang yang memperdebatkan bid’ah mereka, ilmu mereka tidak berkah dan tidak ada kebaikan padanya. kalian akan mendapati mereka sering berdebat, berbantah-bantahan yang tidak ada ujungnya, tidak berujung pada penerimaan terhadap kebenaran. Karena maksud mereka adalah untuk membela pendapatnya. Maka setiap orang yang berdebat dengan tujuan untuk membela pendapatnya pada umumnya tidak akan mengikuti kebenaran, tidak mendapatkan keberkahan ilmu. Sedangkan orang yang berdebat untuk mencari kebenaran dan menetapkan kebenaran serta membantah kebathilan maka hal ini merupakan suatu hal yang diperintahkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Al Nahl [16] :125)
Namun demikian ada sebuah ayat yang hendaknya kita, anda perhatikan sebelum mulai berdebat. Agar niat atau tujuan perdebatan tidak salah. Karena jika perdebatan yang kita lakukan adalah jenis yang pertama maka kita khawatirkan firman Allah Swt.
وَنُقَلِّبُ أَفۡ‍ِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَنَذَرُهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ ١١٠
 “Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat”. (QS. Al An’am [6] : 110)
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,
 Debat 04
“Mujahid mengatakan, ‘Firman Allah (وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ) maksudnya Kami akan halangi antara mereka dan keimanan walaupun seluruh ayat Al Qur’an maka mereka tidak akan beriman sebagaimana kami halangi antara mereka dan keimanan pertama sekali”[19]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan,
“Maka wajib bagi kalian wahai saudaraku untuk menerima kebenaran sama saja ketika berdebat dengan orang lain atau ketika anda sendirian. Sehingga ketika telah jelas bagi anda kebenaran maka katakanlah kami mendengar dan kami ta’at, kami beriman dan kami percaya”[20]


















PENUTUP
Bertolak dari pembahasan yang telah dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Perdebatan itu merupakan adu argumentasi mengenai suatu hal dan saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Perdebatan selalu dibarengi dengan menyakiti orang lain, membangkitkan amarahnya, dan memaksanya untuk membela pendapatnya, baik dengan cara benar maupun salah. Maka, dua orang yang berdebat berusaha untuk menjatuhkan lawannya dan menunjukkan kebodohannya. Karena itu obat untuk penyakit “berdebat” ini adalah dengan memusnahkan penyebabnya yakni membuang kesombongan yang mendorong manusia untuk menampakkan kelebihannya.
Perdebatan itu terbagi dua, perdebatan tercela dan terpuji. Perdebatan tercela dikatakan demikian karena debat tersebut hanya ingin mengobarkan amarah, tanpa memakai dasar ilmu dan membenarkan sesuatu yang salah. Sedangkan perdebatan yang terpuji untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah yang dipuji.






[1] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, No. Hadis 48, (Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t), jld. 1, hal. 19
[4] Dikutip dari  http://kbbi.web.id/debat
[5] Iman Zanatul Haeri, “Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim,” artikel diakses pada 25 April 2017 dari  https://islami.co/zakir-naik-membunuh-keimanan-muslim/
[6] Hadi, “Etika Berdebat Menurut Islam,” artikel diakses pada 26 April 2017 dari  http://liputanislam.com/kajian-islam/telaah/etika-berdebat-menurut-islam-1/
[7] Iman Zanatul Haeri, “Zakir Naik Membunuh Keimanan Muslim,” artikel diakses pada 25 April 2017 dari  https://islami.co/zakir-naik-membunuh-keimanan-muslim/
[8] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, No. Hadis 48, (Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t), jld. 1, hal. 19
[9] Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut: Daar Al-Gharab Al-Islamy), jld. 5, hal. 232
[10] Ahmad ibn hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, )Muassasah al-Risalah) No. Hadis 22164, hal. 493
[11] Abu Qoshim, Syarah Ushul I’tiqod Ahl Sunnah Wal Jamaah, (Saudi: Daar At-Thayyibah) jld.1, hal.128
[12] Ibnu Hajar, Fathul Bari syarh shohih Bukhori, (Riyadh: Dar Thoyyibah), hal. 17
[13] Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’ Al-Bayan Fii At-Ta’wil Al-Qur’an, (Muassasah Ar-Risalah), Tafsir Surah Az-Zukhruf, Hal. 628
[14] Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’ Al-Bayan Fii At-Ta’wil Al-Qur’an, (Muassasah Ar-Risalah), Jld 20, hal. 46
[15] Ibrahim Mustafa Dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Daar Ad-Da’wah,t.t) , h. 548
[16] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Syarh Al Kabair,( Beirut Lebanon: Darul Kutub Ilmiyah), hal. 215.
[17] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Syarh Al Kabair, Hal. 216
[18] Tafsir surah Al Baqarah (Riyadh: Dar Ibnul Jauziy), hal. 444
[19] Tafsir Al Qur’an Al Azhim, (Riyadh:Dar Thoyyibah), hal. 317
[20] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Syarh Al Kabair, Hal. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar