Senin, 15 Februari 2016

I will be better than now, I promise

My hope my dream
L
aila, itulah namaku. Aku menyukai nama itu, nama pemberian orang tuaku sejak 20 tahun yang lalu. Laila yang berarti malam bukan berarti aku dilahirkan malam hari, tetapi justru aku dilahirkan pagi hari bertepatan dengan bulan sucinya umat Islam yakni bulan ramadhan. 16 februari 1995 yang saat itu bertepatan dengan 16 ramadhan 1416. Itulah mengapa aku menyebut bulan februari bulan penuh cinta, bukan karena ada hari kasih sayang didalamnya yang orang barat menyebutnya dengan “valentine days”, bukan itu sangat bukan, tetapi karena aku dilahirkan kedunia ini pada bulan itu, dimana aku sangat bersyukur dapat bertemu tempat yang bernama “dunia” setelah menikmati alam rahim di ibuku. bulan februari atau bulan ramadhan menjadi bulan yang amat sakral bagiku, bulan kemuliaan bagi umat islam dan bulan penuh keharuan. Ku membayangkan betapa hebatnya perjuangan ibuku melewati kelahiran di bulan yang didalamnya umat islam diwajibkan untuk berpuasa. Nama lengkapku Laila Elvia Syahriah yang bermakna malam seribu bulan, tentu alasan orangtuaku memberi nama ini karena setelahnya itu adalah malam lailatul qadr malam diturunkannya al-qur’an yang terdapat dalam dalam surat al-qadr “lailatul qadri khairun min alfi syahrin”, semoga menjadi wanita yang penuh keindahan layaknya malam dengan seribu rembulan,katanya.
Saat aku menulis ini tentu tinggal menghitung menit umurku bertambah menjadi 21 tahun, umur yang bukan remaja lagi, menginjak masa dewasa, masa-masa yang menentukan kemana kakiku akan melangkah pergi, menggapai cinta illahi bersama pendamping hidup dan menggapai cita-cita mulia.
All praises to Allah,
Dipenghujung ini, aku ingin mengucapkan banyak terimakasih untuk orang-orang yang hadir di perjalanan kehidupanku, kepada kalian yang memberikan kisahnya masing-masing kepadaku, tanpa kalian aku hanyalah sebuah nama. Tentang semua kejutan yang hadir silih berganti tentang semua yang berawal dari mimpi. Ya.. mimpiku yang jelas terurai oleh pena lalu dikabarkan oleh semesta. All everything thank you so much.
I promise i will be better than now. I believe imposibble is nothing. Lets break the limits.
Belajar lebih giat dari biasanya, tersenyum lebih ramah dari biasanya, dan berjuang lebih keras dari biasanya.  Azzahy,15022016.


Kamis, 04 Februari 2016

Pesona politik dan peran perempuan

Perempuan dan politik
Manusia dalam teks suci al-Qur’an adalah khalifah Allah di muka bumi. Tugasnya memakmurkan bumi dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh umat manusia. Ini adalah teks suci yang mengisyaratkan keharusan manusia untuk berpolitik. Al-Qurthubi menyatakan bahwa dalam surah Al-Baqarah ayat 30 ini menunjukkan keharusan manusia mengangkat pemimpin pemerintahan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, menegakkan hukum dengan benar dan mewujudkan keadilan serta hal-hal penting lain yang diperlukan bagi kehidupan bersama. Ini adalah urusan –urusan politik.
Dalam wacana islam, politik (as-siyasah) secara sederhana dirumuskan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan didunia dan kebahagiaan di akhirat. Dengan begitu politik dalam arti ini sesungguhnya adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia dapat muncul dalam ruang domestic maupun publik, ruang kulktural maupun ruang struktural, personal dan komunal. Tetapi penyebutan politik dalam banyak pikiran dewasa ini telah menyempit menjadi istilah bagi politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas (mashalih ummah) dan untuk masa depan kemanusiaan yang panjang, secara lebih sederhana politik dalam persepsi publik adalah menjadi anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif: bupati, gubernur presiden dan para menteri , hakim pengadilan dan sejenisnya.
Partisipasi politik perempuan.
Perempuan Islam, pada permulaan lahirnya agama Islam, tidaklah mementingkan masalah politik, walaupun agama Islam sudah memberikan hak-hak penuh sama dengan laki-laki kepada mereka. Aktifnya perempuan yang diantaranya Fatimah binti Khattab dan Asma binti Abu Bakar dalam dakwah Islam tidak menjadikan bukti bahwa perempuan turut sibuk mengambil bagian di masalah politik. Walaupun Islam telah mengembalikan segala hak perempuan dan mempersamakannya dengan laki-laki dalam kecakapannya untuk bertindak, tetapi Islam tetap menekankan, bahwa sebaiknya perempuan itu menumpahkan perhatiannya kepada urusan keluarga dan rumahtangganya, kesejahteraan perempuan itu sendiri dan kesejahteraan rumahtangganya. Oleh sebab itu Islam membebaskan perempuan dari tugas mencari nafkah walau dalam prakteknya perempuan dapat mengerjakan pekerjaan yang produktif. Dan dengan perlakuan bijaksana ini, maka Islam berarti memelihara kehormatan kaum perempuan, tidak mengambil hak-haknya dan memelihara kebahagiaan rumahtangga, serta tidak menekankan istri untuk pergi mengerjakan pekerjaan lain. Memang benar, bahwa perempuan itu sudah memperoleh hak-haknya secara penuh, dan memang memungkinkan pula perempuan untuk ikut serta dalam bidang politik, tetapi perempuan Islam cukup sadar bahwa tugasnya yang utama dalam hidup ini adalah supaya ia menjadi Ibu dan Ratu Rumahtangga dalam kehidupannya.
Dewasa kini, Perempuan pada saat ini tetap menjadi sorotan hangat yang patut untuk diperbincangkan. Dalam ranah politik tentu tak dapat dihindari bahwa perempuan masih setia membumbui politik dengan pesonanya. Hal yang masih hangat di telinga kita adalah pilkada raya yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia tanggal 9 kemarin, yang hampir banyak kita temui calon pemimpinnya adalah perempuan.  
Perempuan sebagai hamba Allah, ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan menyejahterakan manusia. Untuk tugas-tugas itu kaum perempuan tidak dibedakan dari laki-laki. Allah Swt memberikan kepada mereka, laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan “al-ahliyyah” atau kemampuan-kemampuan dan kompetensi-kompetensi untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas-tugas pengaturan dunia ini. Laki-laki dan perempuan beriman, menurut al-Qur’an saling bekerjasama untuk tugas keagamaan: menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemungkaran (kerusakan sosial). Teks-teks al-Qur’an juga menegaskan akan adanya balasan yang sama antara laki-laki perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik tersebut (Al-Taubah 71)
Partisipasi mereka menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Dan saat ini banyak yang beranggapan bahwa partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting, karena keberadaan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan, dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan serta turut serta dalam proses pembangunan bangsa.
Pandangan ulama Islam
Islam memandang bahwa sebaiknya perempuan tidak ikut serta dalam politik, walaupun terbentang luas dihadapannya peluang untuk berpolitik, karena sesungguhnya bagi perempuan Islam cukup sadar bahwa tugas sesungguhnya adalah menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya yang akan melahirkan tunas-tunas bangsa yang shaleh dan shalehah serta menjadi Ratu Rumahtangga bagi suaminya. Secara umum alasan yang digunakan bagi domestikasi perempuan ini adalah bahwa kaum perempuan memiliki kecerdasan intelektual yang terbatas dan lebih rendah dari laki-laki. Teks al-Qur’an annisa 34
Alasan kedua, perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka dipandang sumber godaan, dan menstimulasi konflik sosial. Al-maududi dari Pakistan dan Musthafa al-Siba’I dari Siria dan sejumlah sarjana lain menyetujui pandangan ini. Al-Siba’I mengatakan bahwa “peran politik perempuan dalam pandangan Islam sangat dijauhi bahkan saya lebih suka diharamkan. Ini bukan karena ia tidak memiliki kapasitas atau keahlian mengenainya melainkan karena kerugian-kerugian sosialnya jauh lebih besar daripada kebaikan atau keuntungannya bagi  masyarakat, melanggar etika Islam dan merugikan kepentingan keluarga.”
Pandangan-pandangan keagamaan klasik diatas kini berhadapan dengan dinamika sosial semakin terbuka lebar dewasa ini. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional dan kurang kompeten dibanding laki-laki kini telah gugur dan tidak popular lagi. Imam Adz-Dzahabi, ahli hadis terkemuka mengatakan: “ tidak ada kabar bahwa riwayat perempuan tidak dapat dipercaya (dusta)”. Al-Syaukani, ahli hadis yang lain lebih tegas mengatakan :”tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa kabar yang bersumber dari perempuan harus ditolak hanya karena dia perempuan. Betapa banyak hadis Nabi yang bersumber dari seorang perempuan diterima dengan bulat oleh para ulama. Dan ini tidak diingkari oleh siapapun yang pernah belajar hadis.  Sepanjang para perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil kita akan menemukan diantara para filosof, para pemimpin publik-politik. Selama tidak melanggar batasa-batas syariat tentu tak ada yang membatasi ruang bagi perempuan

Tentu adanya pernyataan seperti ini menjadikan dasar bahwa perempuan bisa ikut berpartisipasi aktif dalam bidang perpolitikan, karena peran mereka pun begitu dibutuhkan dalam dunia politik. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa aktifnya mereka tak menjadikan mereka lupa akan tugas utama yakni kelak sebagai Ibu dan Ratu Rumahtangga bagi suaminya. Tentu perempuan cerdas masakini mampu mengatur waktu yang sedemikian padatnya. Semoga menjadikan kita perempuan-perempuan shalilah yang aktif dalam pembangunan bangsa serta mampu mencerdaskan tunas-tunas bangsa oleh sentuhan kita. Wallahu a’lam.