Perempuan
dan politik
Manusia
dalam teks suci al-Qur’an adalah khalifah Allah di muka bumi. Tugasnya
memakmurkan bumi dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh
umat manusia. Ini adalah teks suci yang mengisyaratkan keharusan manusia untuk
berpolitik. Al-Qurthubi menyatakan bahwa dalam surah Al-Baqarah ayat 30 ini
menunjukkan keharusan manusia mengangkat pemimpin pemerintahan untuk mengatur
tata kehidupan masyarakat, menegakkan hukum dengan benar dan mewujudkan
keadilan serta hal-hal penting lain yang diperlukan bagi kehidupan bersama. Ini
adalah urusan –urusan politik.
Dalam
wacana islam, politik (as-siyasah) secara sederhana dirumuskan sebagai cara
mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan didunia
dan kebahagiaan di akhirat. Dengan begitu politik dalam arti ini sesungguhnya
adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia dapat muncul
dalam ruang domestic maupun publik, ruang kulktural maupun ruang struktural,
personal dan komunal. Tetapi penyebutan politik dalam banyak pikiran dewasa ini
telah menyempit menjadi istilah bagi politik praktis, politik struktural,
perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat,
bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas (mashalih ummah) dan untuk
masa depan kemanusiaan yang panjang, secara lebih sederhana politik dalam
persepsi publik adalah menjadi anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif:
bupati, gubernur presiden dan para menteri , hakim pengadilan dan sejenisnya.
Partisipasi
politik perempuan.
Perempuan
Islam, pada permulaan lahirnya agama Islam, tidaklah mementingkan masalah
politik, walaupun agama Islam sudah memberikan hak-hak penuh sama dengan
laki-laki kepada mereka. Aktifnya perempuan yang diantaranya Fatimah binti
Khattab dan Asma binti Abu Bakar dalam dakwah Islam tidak menjadikan bukti
bahwa perempuan turut sibuk mengambil bagian di masalah politik. Walaupun Islam
telah mengembalikan segala hak perempuan dan mempersamakannya dengan laki-laki
dalam kecakapannya untuk bertindak, tetapi Islam tetap menekankan, bahwa
sebaiknya perempuan itu menumpahkan perhatiannya kepada urusan keluarga dan
rumahtangganya, kesejahteraan perempuan itu sendiri dan kesejahteraan
rumahtangganya. Oleh sebab itu Islam membebaskan perempuan dari tugas mencari
nafkah walau dalam prakteknya perempuan dapat mengerjakan pekerjaan yang
produktif. Dan dengan perlakuan bijaksana ini, maka Islam berarti memelihara
kehormatan kaum perempuan, tidak mengambil hak-haknya dan memelihara
kebahagiaan rumahtangga, serta tidak menekankan istri untuk pergi mengerjakan
pekerjaan lain. Memang benar, bahwa perempuan itu sudah memperoleh hak-haknya
secara penuh, dan memang memungkinkan pula perempuan untuk ikut serta dalam
bidang politik, tetapi perempuan Islam cukup sadar bahwa tugasnya yang utama
dalam hidup ini adalah supaya ia menjadi Ibu dan Ratu Rumahtangga dalam
kehidupannya.
Dewasa
kini, Perempuan pada saat ini tetap menjadi sorotan hangat yang patut untuk
diperbincangkan. Dalam ranah politik tentu tak dapat dihindari bahwa perempuan
masih setia membumbui politik dengan pesonanya. Hal yang masih hangat di telinga
kita adalah pilkada raya yang serentak dilakukan di seluruh Indonesia tanggal 9
kemarin, yang hampir banyak kita temui calon pemimpinnya adalah perempuan.
Perempuan
sebagai hamba Allah, ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan
bumi dan menyejahterakan manusia. Untuk tugas-tugas itu kaum perempuan tidak
dibedakan dari laki-laki. Allah Swt memberikan kepada mereka, laki-laki dan
perempuan, potensi-potensi dan “al-ahliyyah” atau kemampuan-kemampuan dan
kompetensi-kompetensi untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi
tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan
keharusan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas-tugas pengaturan dunia
ini. Laki-laki dan perempuan beriman, menurut al-Qur’an saling bekerjasama
untuk tugas keagamaan: menyerukan kebaikan dan menghapuskan kemungkaran (kerusakan
sosial). Teks-teks al-Qur’an juga menegaskan akan adanya balasan yang sama
antara laki-laki perempuan bagi pekerjaan-pekerjaan politik tersebut (Al-Taubah
71)
Partisipasi
mereka menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah
memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani
peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil.
Dan saat ini banyak yang beranggapan bahwa partisipasi perempuan dalam politik
sangatlah penting, karena keberadaan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan
kelompok perempuan, dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan
proses pembuatan kebijakan serta turut serta dalam proses pembangunan bangsa.
Pandangan
ulama Islam
Islam
memandang bahwa sebaiknya perempuan tidak ikut serta dalam politik, walaupun
terbentang luas dihadapannya peluang untuk berpolitik, karena sesungguhnya bagi
perempuan Islam cukup sadar bahwa tugas sesungguhnya adalah menjadi madrasah
pertama bagi anak-anaknya yang akan melahirkan tunas-tunas bangsa yang shaleh
dan shalehah serta menjadi Ratu Rumahtangga bagi suaminya. Secara umum alasan
yang digunakan bagi domestikasi perempuan ini adalah bahwa kaum perempuan memiliki
kecerdasan intelektual yang terbatas dan lebih rendah dari laki-laki. Teks al-Qur’an
annisa 34
Alasan
kedua, perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan
kehadiran mereka dipandang sumber godaan, dan menstimulasi konflik sosial. Al-maududi
dari Pakistan dan Musthafa al-Siba’I dari Siria dan sejumlah sarjana lain
menyetujui pandangan ini. Al-Siba’I mengatakan bahwa “peran politik perempuan
dalam pandangan Islam sangat dijauhi bahkan saya lebih suka diharamkan. Ini
bukan karena ia tidak memiliki kapasitas atau keahlian mengenainya melainkan
karena kerugian-kerugian sosialnya jauh lebih besar daripada kebaikan atau
keuntungannya bagi masyarakat, melanggar
etika Islam dan merugikan kepentingan keluarga.”
Pandangan-pandangan
keagamaan klasik diatas kini berhadapan dengan dinamika sosial semakin terbuka
lebar dewasa ini. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional dan
kurang kompeten dibanding laki-laki kini telah gugur dan tidak popular lagi. Imam
Adz-Dzahabi, ahli hadis terkemuka mengatakan: “ tidak ada kabar bahwa riwayat
perempuan tidak dapat dipercaya (dusta)”. Al-Syaukani, ahli hadis yang lain
lebih tegas mengatakan :”tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa
kabar yang bersumber dari perempuan harus ditolak hanya karena dia perempuan.
Betapa banyak hadis Nabi yang bersumber dari seorang perempuan diterima dengan
bulat oleh para ulama. Dan ini tidak diingkari oleh siapapun yang pernah
belajar hadis. Sepanjang para perempuan
tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka
tidaklah mustahil kita akan menemukan diantara para filosof, para pemimpin
publik-politik. Selama tidak melanggar batasa-batas syariat tentu tak ada yang
membatasi ruang bagi perempuan
Tentu
adanya pernyataan seperti ini menjadikan dasar bahwa perempuan bisa ikut
berpartisipasi aktif dalam bidang perpolitikan, karena peran mereka pun begitu
dibutuhkan dalam dunia politik. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa aktifnya
mereka tak menjadikan mereka lupa akan tugas utama yakni kelak sebagai Ibu dan
Ratu Rumahtangga bagi suaminya. Tentu perempuan cerdas masakini mampu mengatur
waktu yang sedemikian padatnya. Semoga menjadikan kita perempuan-perempuan
shalilah yang aktif dalam pembangunan bangsa serta mampu mencerdaskan
tunas-tunas bangsa oleh sentuhan kita. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar